Buku Terbaru

"Jatuh Cintaku Yang Kedua"


     Hari ini, ketika Aku menuliskan cerita ini. Suasana terlihat sangat sejuk, lengkap dengan tetesan air hujan yang manja membasahi jendela kamarku. Aku duduk untuk mengetik cerita yang ingin Aku ceritakan kepada kalian di atas meja bundar milikku. Tepat pukul 09.49 pagi. Ditemani dengan setoples kacang nagara, orang sering menyebutnya. Aku memulai ceritaku.

Jatuh cinta. Mungkin hanya itu, kalimat yang dapat menggambarkan perasaanku padanya saat ini. Kalian tahu? Jatuh cintaku ini adalah jatuh cinta yang dalam untuk kedua kalinya. Terserahlah orang mau berkata apa tentang ini, intinya sekarang Aku benar-benar sedang jatuh cinta. Jatuh cinta dengan sejatuh-jatuhnya.

Pertama kali Aku bertemu dengannya, saat Aku masih duduk di kelas 2 SMP di SMP Muhammadiyah Banjarbaru. Tepatnya, pada 4 tahun yang lalu. Saat itu, usiku masih 12 tahun. Usia yang mungkin belum patut untuk dikatakan mampu jatuh cinta. Namun, pertemuan yang pertama dengannya malah membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku mengenalnya, karena ada seseorang yang mengenalkannya padaku. Namanya, Muhajiroh Nur Amaroh. Mba Jiroh panggilannya, seniorku waktu SMP dulu. Mba Jirohlah yang berhasil mengenalkannya padaku dan membuatku menemukan cintaku yang kedua.

Jatuh cintaku yang kedua itu namanya adalah IPM. Ya, IPM. Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Sebuah organisasi untuk para pelajar yang menginginkan kemajuan terhadap dirinya, termasuk diriku. 

Aku dan dirinya sudah menjalin hubungan cukup lama, sekitar kurang lebih 4 tahun. Hubunganku dengannya dimulai sejak Aku menginjakkan kaki di sekolah baruku, SMP Muhammadiyah Banjarbaru. Satu-satunya SMP Muhammadiyah yang ada di Banjarbaru saat itu. Aku merupakan salah satu murid pindahan dari Banjarmasin. Sewaktu Aku masih berdiam di Banjarmasin, Aku bersekolah di SMPN 3 Banjarmasin. Karena dalih pekerjaan, Ayahku dipindah bekerja ke Banjarbaru. Sehingga seluruh keluarga pun ikut berpindah.

Mba Jiroh, memperkenalkanku dengan IPM. Saat itu, Aku duduk di bangku kelas 1 dan Mba Jiroh duduk di bangku kelas 3. Dia menceritakan IPM, saat kami sedang mengikuti ekstrakulikuler wajib di sekolahku, Hizbul Wathan. Dia memulai ceritanya dengan sedikit pertanyaan yang diajukannya padaku.

Zahra tahu nggak apa itu IPM? ucap Mba Jiroh.
Hmm, nggak tahu mba. Apa itu? Rasanya Aku belum pernah dengar, jawabku.
Beneran Zahra nggak tahu apa itu IPM? ulangnya,
Iya, mba. Beneran. Aku nggak tahu IPM itu apa. Bahkan akronimnya aja nggak tahu, hehe, jawabku.
Kalau nggak tahu, mba kasih tahu deh, ujar Mba Jiroh. Jadi Zahra, IPM itu singkatan dari Ikatan Pelajar Muhammadiyah. IPM itu adalah sebuah organisasi kepelajaran punya Muhammadiyah. Nah, yang mengelola IPM itu ya kita. Para Pelajar Muhammadiyah. Kalau di tingkat sekolah IPM itu setara dengan OSIS, sambungnya.
Wah, mba Jiroh ikut IPM ya? Kayaknya seru ya, mba. Aku jadi tertarik dan mau ikut, ujarku.
Nah, kalau mau ikut mba bilangin sama Ka Agus ya, ujarnya.
Loh, kok bilangnya ke ka Agus, memangnya ka Agus ikut IPM juga mba? tanyaku sambil kebingungan.
Lah iya Zahra. Ka Agus itu, yang bawa IPM ke Banjarbaru. Dulu sih, nggak ada IPM di Banjarbaru ini, kata Mba Jiroh.
Tadi katanya pelajar, kan ka Agus itu sudah mahasiswa. Kok masih bisa ikut IPM? tanyaku, bingung.
IPM itu ada batas usianya Zahra. Nanti kalau sudah di IPM. Kamu bakalan tahu kok! Sekarang mba bilang ke ka Agus ya!!! kata mba Jiroh dengan penuh semangat.
Iya deh mba, turutku.

Dari percakapan itulah, Aku mulai penasaran dan tertarik dengan IPM. Tidak hanya tertarik dan penasaran. Aku juga merasa sedikit kebingungan. Kenapa mahasiswa masih bisa ikut IPM, padahal singkatannya saja Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Kenapa masih ada mahasiswa yang bergabung? Banyak pertanyaan muncul, saat Aku mulai kenal dengan sosok IPM.

Rupanya, setelah memperkenalkanku dengan IPM. Mba Jiroh benar-benar memiliki tekad yang bulat untuk mendaftarkanku menjadi pengurus IPM. Namun sayang, saat itu usahanya mendaftarkanku gagal. Karena syarat untuk menjadi pengurus IPM adalah berpengalaman di OSIS dan Aku tidak pernah mengikuti OSIS.

Aku mulai patah semangat pada kala itu. Namun, takdir berkata lain. 6 bulan berikutnya, tepat pada Aku sudah duduk di kelas 2 SMP. Ada kembali tawaran untuk mengikuti IPM. Tepat pada waktu itu pula, Aku memberanikan diri untuk mendaftarkan diriku. Kali ini tanpa bantuan dari Mba Jiroh, ya karena memang Mba Jiroh sudah meluluskan dirinya dari sekolah ini. Setelah beberapa hari kemudian, Aku bersama teman-teman yang juga mendaftarkan diri dinyatakan mampu untuk menjadi pengurus IPM. Tetapi sebelumnya, kami terlebih dahulu harus mengikuti Pelatihan Kader Dasar Taruna Melati I (PKDTM I) agar benar-benar resmi menjadi anggota IPM.

Pada saat sebelum mengikuti PKDTM I, kami mengikuti beberapa rangkaian seleksi. Pertama, kami harus menjawab soal pre test. Lalu selanjutnya, tes wawancara dan yang terakhir adalah pengumuman lulus seleksi. Untuk dapat menjawab pre test, Aku membaca seluruh buku Kemuhammadiyahan yang membahas tentang IPM. Walaupun secara singkat, tapi setidaknya ada yang bisa Aku jelaskan bila ditanya tentang IPM. Alhamdulillah, setelah melewati beberapa tahapan. Aku berhasil lulus seleksi dan dapat mengikuti PKDTM I.

PKDTM I inilah, yang membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama dengan IPM. Sebelum bisa seperti sekarang, Aku dulu adalah orang yang belum berani berbicara sebelum disuruh. Aku mempunyai tingkat pendiam paling tinggi saat itu. Bukan pendiam yang diam seperti emas, tapi terlebih seperti pendiam yang diam seperti karat. Bersyukur, saat Aku bertemu IPM. Melalui IPM semuanya mulai berubah. Sekarang Aku lebih percaya diri. 

PKDTM I adalah pengalaman pertamaku di IPM dan merupakan momen terbaik dari yang terbaik. TM dimulai dengan taaruf atau perkenalan, saat itu hanya menggunakan perkenalan sederhana, kita disuruh untuk menyebutkan nama, TTL dan alamat. Tidak hanya perkenalan, pada sesi taaruf  kita ditunjuk untuk duduk berkelompok. Satu kelompok terdiri dari 4 orang. Pada saat itu, Aku dikelompokkan dengan Muhammad Rayyan, Muhammad Habibie, dan Salma Hayati.  Setelah taaruf, ada yang namanya kontrak belajar. Dimana pada saat itu, kita disuruh untuk membuat peraturan untuk kegiatan tersebut, tentunya dengan kesepakatan bersama. Aku bersama teman kelompokku berdiskusi tentang beberapa opsi yang ingin kami ajukan. Setelah menimbang, kami pun merasa opsi kami patut untuk diajukan. Kala itu, kami mengajukan sebuah peraturan yang berbunyi Laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, tidak boleh berdua-duaan dimana pun. Hahaha, itulah opsi yang kuingat. Saat yang bersamaan, seluruh peserta TM menyetujui opsi yang telah kami ajukan.

Setelah melakukan kontrak belajar, masing-masing dari kami diberi satu buah kalung id card beserta 5 sedotan yang telah dipotong menjadi kecil. Saat yang bersamaan pula, MOT atau Master of Training, orang yang memegang kendali kegiatan. Al Bawi namanya, ka Bawi Aku memanggilnya. Memberi tahu kami tentang apa fungsi sebenarnya kelima sedotan itu, Mirip seperti game, sedotan ini dijadikan sebagai nyawa kalian. Jika nyawa kalian habis, maka diakhir kegiatan akan ada hadiah yang menunggu, ujarnya pada kami. 

Apakah bentuknya hadiah dalam antonim? Lalu bagaimana cara mempertahankan nyawa? Aku mulai bertanya dalam hati. Dia kembali melanjutkan penjelasannya, Pasti ada yang bingung gimana caranya nyawa kalian itu hilang dan gimana nyawa kalian itu bisa bertambah? Sederhana, kalian bisa mempertahankan nyawa kalian dengan menjawab pertanyaan yang diajukan siapapun dengan benar. Tak peduli itu pertanyaan apa. Seperti contoh, ada orang yang bertanya kepada saya, toilet dimana. Saya harus menjawab dengan detail. Bila saya hanya menjawab dengan kata di sana. Maka nyawa saya akan hilang dan berhak diambil oleh orang yang bertanya. Paham? lanjutnya.

Setelah memahami kata-kata tersebut, Aku mulai berhati-hati dengan setiap pertanyaan yang diajukan kepadaku, hahahaha. Setelah taaruf dan kontrak belajar, hari-hari berikutnya dilanjutkan dengan berbagai materi dari Ayahanda maupun kakanda persyarikatan. Materi yang paling mengesankan bagiku ialah yang disampaikan oleh Ayahanda Rifan Amin(alm) dan Ayahanda Imam Santoso. Beliau berdua sangat membuatku sadar akan apa arti kita hidup sebenarnya. Pada saat itu, Ayahanda Amin(alm)-panggilanku. Menyampaikan sebuah materi tentang ketahuhidan, bertepatan sekali saat selesai shalat shubuh. Ketika itu, beliau menyampaikan beberapa kesalahan yang sering dilakukan oleh manusia yang dapat membuatnya kehilangan ketahuhidannya dan Aku merasa pernah melakukan beberapa dari hal itu. Beliau melakukan penyadaran kepada kami, semua teman menangis mendengar apa yang beliau sampaikan, Aku pun sama seperti itu. Kami semua menangis tersedu-sedu. Terkadang memori ini kembali menyeruak di pikiranku, apalagi ketika mengingat beliau yang menyampaikan telah mendahului kami semua.

Materi lain yang paling berkesan disampaikan oleh Ayahanda Imam Santoso. Kala itu, beliau menyampaikan materi tentang EQ, IQ, SQ. Materi yang beliau sampaikan begitu sederhana, namun sampai sekarang masih membekas diingatanku. Beliau memberikan kami banyak sekali perumpamaan, sehingga apa yang ingin beliau sampaikan sangat mudah untuk dipahami. Di tengah-tengah materi pun, beliau memberikan kami beberapa ice breaking untuk melatih emosi dan intelegensi. Sedangkan untuk menguji spiritual, lagi-lagi dikonsep dalam bentuk sebuah renungan. Aku sudah sangat sering mengikuti materi dari beliau, tetapi benar-benar beliau mampu membuat kami semua menangis lagi dan lagi.

Di hari terakhir Aku mengikuti PKDTM I, kami bergiliran disuruh untuk mempresentasikan hasil diskusi kami mengenai surah al-maun. Kala itu, kelompokku kena giliran maju paling akhir. Aku dan semua teman-teman kelompokku sangat gugup, terlebih ketika kami disuruh menjawab pertanyaan yang diajukan oleh kelompok lain. Setelah selesai mempresentasikan hasil diskusi kami, ada salah seorang dari kelompok lain yang mengajukan sebuah pertanyaan. Kami bergiliran untuk menjawabnya, kebetulan sekali Akulah yang mendapat giliran untuk menjawab. 

Inilah saat yang membuatku berubah seperti ini sekarang. Ketika ingin menjawab pertanyaan, Aku terlebih dahulu menuliskan kata-kata yang ingin kusampaikan. Karena memang dahulu, Aku tidak bisa mengendalikan rasa gugup sehingga akan lupa apa yang ingin Aku sampaikan. Tetapi ketika itu, MOT ku. Ka Bawi. Berujar seperti ini, Kalau mau jawab pertanyaan, biasakan gak usah ditulis dulu jawabannya. Langsung aja jawab. Ketika itu pula, Aku serasa dihujam badai. Aku terkejut dan malu, karena saat itu Aku masih menuliskan jawaban yang ingin Aku sampaikan. Kejadian inilah yang membuatku berubah. Sekarang Aku tidak lagi menuliskan jawaban sebelum menjawab. Aku lebih berani sekarang dan ketika ada yang memberikan pertanyaan seperti dahulu, Aku dapat langsung menjawab dengan jawaban yang spontanitas tetapi masih logis.

Masih banyak hal lain di IPM yang membuatku menjadi pribadi yang lebih baik dari yang dahulu. Kali ini, hanya ini yang dapat Aku ceritakan. Lain kali, akan kusampaikan lebih banyak lagi cerita cintaku dengan IPM yang dapat membuatmu iri padaku. 

Oh iya, mungkin sampai di sini dulu ceritaku. Setoples kacang yang menemaniku tadi sudah hilang dari toplesnya. Nanti akan kulanjutkan cerita ini, dengan menu pendamping yang berbeda. Selamat berjumpa di cerita yang lain.

Oh iya sekali lagi, hampir saja Aku melupakannya. Kalian belum mengenalku bukan? Atau mungkin sudah lebih dari kenal? Hehe. Teman! Namaku Fatimatuzzahra, usia 16 tahun, sekolah di SMA Muhammadiyah Martapura, berIPM di daerah Banjarbaru, dan ini yang sangat penting yang harus kamu tahu! Aku sedang jatuh cinta dengan IPM dan tidak tahu kapan cinta ini akan berakhir.
Assalamualaikum.
Banjarbaru, 30 Maret 2018

Fatimatuzzahra
PD IPM Banjarbaru
Pemenang 1 Lomba Menulis Cerita Aku dan IPM

No comments